Wednesday, November 16, 2016
Benahi Rencana Kebutuhan Obat
JAKARTA, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta Kementerian Kesehatan mendisiplinkan rumah sakit dalam menyusun rencana kebutuhan obat yang jadi basis penghitungan kebutuhan obat nasional. Ketidakdisiplinan PiS menyusun RKO turut memicu kelangkaan obat yang merugikan pasien yang jadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, di Gedung KPK, di Jakarta, Rabu (19/10), menyatakan, rencana kebutuhan obat (RKO) tahunan RS yang tak disampaikan membuat lelang kebutuhan obat di katalog elektronik tak sesuai kebutuhan nil. Saat obat tak tersedia, pasien terpaksa membeli obat nongenerik di luar RS dan tak bisa ditagihkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
"Penyusunan RKO belum berjalan baik. Kami dorong lewat Menteri Kesehatan agar RKO disusun dengan baik," ujarnya.
Menurut Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, pasar obat di Indonesia pada 2016 diperkirakan Rp 69 triliun, 60 persennya obat dengan resep. Dari jumlah itu, Rp 5 triliun ialah obat generik yang sebagian besar digunakan 169 juta peserta JKN. Saat obat tidak ada, puskesmas merujuk pasien ke RS sehingga ada penumpukan pasien di RS. "Saat obat tak ada, RS rujuk balik lalu memberi resep yang harus ditebus pasien," ujarnya.
Katalog elektronik
Karena itu, KPK menyarankan pendisiplinan penyusunan RKO, lalu pembenahan katalog elektronik oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), sehingga semua obat yang direkomendasikan Formularium Nasional (Fornas) ada di katalog elektronik Selain itu, KPK mendesak agar upaya memastikan obat di katalog elektronik tersedia.
Terkait hal itu, Menkes Nila Moeloek akan menindaklanjuti rekomendasi KPK secara transparan. Diakui, ada masalah dalam penyusunan RKO. Salah satu penyebab kekurangan obat tertentu adalah distributor tak mau menyediakan obat sehingga Kemenkes menyiapkan aturan untuk mendenda distributor itu.
Namun, pihaknya sulit memberi sanksi RS yang tak membuat RKO dengan benar. "Kemungkinan kami memberi ruang membeli obat di luar, tetapi obat harus ada di US," ujarnya.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Kusumastuti Lukito menambahkan, agar obat di katalog elektronik tersedia, pihaknya akan melaksanakan verifikasi kembali izin edar obat-obat itu.
Sumber: Kompas, 20 Oktober 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment